Jumat, 10 Maret 2017

Gadis Tribute Hall

Oleh : Febriana Kurnia Fitri


Semakin ku membuka mata, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Kakiku seperti akan meledak. Kumerasa berjam-jam lamanya aku tidak sadarkan diri dalam posisi berdiri dengan tali tambang yang melilitku dan tiang besi yang tegak berdiri menyangga tubuhku. Tali itu membuat kemeja kotak-kotak dan jeans panjang yang ku kenakan hampir tak terlihat. Aku seperti mumi yang menyedihkan. Dadaku mulai sesak. Anggota tubuhku sama sekali tak bisa digerakkan. Hanya kepala yang dapat kugerakkan dengan sempurna keatas, kebawah, kesamping kanan atau ke samping kiri. Beruntung, seluruh alat indraku masih bisa berfungsi dengan cukup baik. Tak jarang ku mendengar suara samar-samar jangkrik dan burung hantu dari luar.
“Baiklah, sekarang bau badanku seperti bau badanmu, tiang bodoh!”, gumamku. Aku seperti membodoh-bodohkan diriku sendiri.
Aku sedikit melirik lampu corong redup yang digantungkan tepat sejengkal diatasku. Sangat dekat. Aku sama sekali tidak merasakan panasnya lampu yang memancar. Entahlah, mungkin saja panasnya lampu dan dinginnya malam itu membuat suhu disekitarku menjadi netral. Ruangan itu sangat gelap. Sinar lampu itu hanya mampu menyinari tubuh dan tiang di belakangku. Hal itu membuat siapapun atau apapun dapat melihatku dari kejauhan. Aku hanya dapat melihat dengan jarak pandang sekitar 5 meter saja. Selebihnya, gelap.
 “Hei apa-apaan ini! Sam, Nick? Ayolah, aku tak sedang ulang tahun,” suaraku menggema keseluruh penjuru ruangan. Kurasa ruangan ini semacam aula atau sejenisnya. Yang pasti ruangan ini cukup luas. Tak biasanya teman-temanku mengerjaiku sekejam ini. Yah, memang mereka kadang melampaui batas.
“Istirahatku sudah selesai, kawan. Keluarlah dan lepaskan aku. Aku susah bernapas,” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuhku dengan percuma. Selang hitungan detik setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat kearahku. Semakin lama, suara itu semakin jelas, lalu berhenti. Kurasa seseorang sedang mengawasiku.
“Hei, siapa saja yang datang tolong aku. Keluarlah! Aku tak bisa --- Arrrgggghhhh,” Tiba-tiba ada seseorang berlari dan menyundul perutku dari depan.
Ku menutup mata menahan rasa sakit diperutku. Belum sampat ku melihat pelakunya, dia menamparku bertubi-tubi. Disela-sela tamparannya ia mengayunkan kepalan tangannya tepat kewajahku. Akibatnya, kepalaku menghantam keras tiang yang sedari tadi masih setia di belakangku. Kumerasakan darah segar mengalir lewat kedua lubang hidungku. Tak hanya kaki, sekarang kepalaku pun ikut meledak sebentar lagi. Ku berusaha membuka mataku untuk kesekian kalinya. Seorang gadis sedang berdiri tepat didepanku. Gadis itu mengenakan jaket berwarna merah dan celana training berwarna hitam. Dia menyeringai kearahku.
“Kau... bukan temanku,” kataku sambil berharap dapat menunjuk wanita itu dengan jari tengah yang kupunya.
“Joey, Apa kau ingat sesuatu, Joey?” kali ini namaku disebutnya lebih dari sekali. Gadis itu berputar-putar mengelilingiku dan tiang bodoh yang masih menemaniku.
Melihatnya berputar-putar membuatku aku teringat kejadian yang menimpaku sebelumnya. Lewat tengah malam, aku memperoleh pesan singkat dari nomor Rossy. Dia meminta tolong padaku untuk menjemputnya di Jalan Wrightstone karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, aku menyalakan mesin mobil dan pergi untuk menjemputnya. Namun, tak ada seorangpun di Wrightstone. Saat ku keluar dari mobil, ada sesuatu yang menancap di bahuku. Hanya itu yang kuingat sebelum aku bertemu gadis sialan di tempat ini.
“Mana temanku, Nona?” seketika kuteringat Rossy.
“Teman? Bukankah aku temanmu?” gadis itu tertawa terbahak-bahak. “Gampang juga membuatmu menyalakan mesin mobil dan menemuiku,” kata gadis itu sambil memainkan rambut hitamnya. Untuk kesekian kalinya aku ditipu oleh seorang gadis. Entahlah, yang ini sedikit berbeda.
“Apa Rossy pacarmu?” wajahnya mendadak serius.
“Apa yang kau lakukan padanya?”
“Tenang Bung. Kau ingin tau apa yang sedang dilakukan Rossy-mu itu? Mungkin dia sedang memimpikan dirimu sekarang,” kalimatnya membuatku sedikit lega.
“Nomor itu . . .” aku mulai teringat sesuatu. Handphone Rossy hilang beberapa hari yang lalu.
“Aku yang mencurinya. Kenapa? Kau ingin memukulku sekarang?” katanya.
“Aku tak akan berani memukul seorang gadis. Walaupun gadis itu sesialan dirimu,” kataku.
            Seketika raut wajah gadis itu berubah. Aku mendengar kalimat yang lirih keluar dari mulutnya “Joey, aku cemburu,”
“Apa maksudmu?”
“Apa kau tak ingat padaku? Ingatanmu payah. Selain tampan, kau juga bodoh, Joey,” tanyanya yang kemudian memujiku lalu menghinaku. Aku hanya menggeleng pelan. Benar saya, pukulannya tadi membuat otak kiriku berantakan. Sebuah nama tempat disebutkannya, “Tribute Hall,”
“Emma,” sontak aku menyebut sebuah nama saat ku mendengar Tribute Hall. Namanya Emma, gadis sialan ini bernama Emma. Dia hanya tersenyum.
            Aku dan Rossy bertemu Emma seminggu yang lalu di Tribute Hall, aula beladiri yang ada di kota Redburn. Rossy memperkenalkanku pasa Emma. Kesan pertama aku tak merasakan keanehan. Dan sekarang, apa yang dia lakukan? Cemburu? Padaku?
“Apa kau ingin bernostalgia denganku malam ini, Joey?”
“Aku sedang tak ingin. Bicara saja. Apa urusanmu?”
“Apa kau menjalin kasih dengan Rossy?” untuk kedua kalinya dia menanyakan hal yang sama dengan susunan kalimat yang sedikit berbeda.
“Ya. Dia kekasihku. Ada masalah?”
“Kau membuat diriku membenci dirinya. Terlebih dengan dirimu,” suaranya sedikit bergetar.
“Aku tak mengerti,” kataku sambi mengernyitkan dahi.
“Tempo hari, aku mengajak Rossy makan malam. Aku menungguinya di restoran hampir semalaman. Disaat yang bersamaan, aku melihatmu menggandeng tangan seorang gadis. Gadis itu adalah Rossy. Sejak dia mengenalmu, dia menjauhiku,” gadis itu menangis. Ruangan itu seketika hening.
“Aku masih tak mengerti,” kataku. Emma mendekatiku. Sangat dekat. Suara nafasnya terdengar jelas di telingaku. Lalu dia membisikkan sesuatu padaku, “Kau merebutnya dariku, Joey. Aku mencintainya” kalimat terakhirnya membuat mataku terbelalak. Seluruh tubuhku bergetar.
“Emma, kau. . .,“
“Rossy milikku!,” Tiba-tiba Emma menancapkan sebuah jarum suntik di bahuku.

2 komentar: