Oleh : Febriana Kurnia Fitri
Semakin ku membuka mata, rasa sakit itu
semakin menjadi-jadi. Kakiku seperti akan meledak. Kumerasa berjam-jam lamanya
aku tidak sadarkan diri dalam posisi berdiri dengan tali tambang yang melilitku
dan tiang besi yang tegak berdiri menyangga tubuhku. Tali itu membuat kemeja
kotak-kotak dan jeans panjang yang ku kenakan hampir tak terlihat. Aku seperti
mumi yang menyedihkan. Dadaku mulai sesak. Anggota tubuhku sama sekali tak bisa
digerakkan. Hanya kepala yang dapat kugerakkan dengan sempurna keatas, kebawah,
kesamping kanan atau ke samping kiri. Beruntung, seluruh alat indraku masih
bisa berfungsi dengan cukup baik. Tak jarang ku mendengar suara samar-samar
jangkrik dan burung hantu dari luar.
“Baiklah,
sekarang bau badanku seperti bau badanmu, tiang bodoh!”, gumamku. Aku seperti
membodoh-bodohkan diriku sendiri.
Aku sedikit melirik lampu corong redup yang
digantungkan tepat sejengkal diatasku. Sangat dekat. Aku sama sekali tidak
merasakan panasnya lampu yang memancar. Entahlah, mungkin saja panasnya lampu
dan dinginnya malam itu membuat suhu disekitarku menjadi netral. Ruangan itu
sangat gelap. Sinar lampu itu hanya mampu menyinari tubuh dan tiang di
belakangku. Hal itu membuat siapapun atau apapun dapat melihatku dari kejauhan.
Aku hanya dapat melihat dengan jarak pandang sekitar 5 meter saja. Selebihnya,
gelap.
“Hei apa-apaan ini! Sam, Nick? Ayolah, aku tak
sedang ulang tahun,” suaraku menggema keseluruh penjuru ruangan. Kurasa ruangan
ini semacam aula atau sejenisnya. Yang pasti ruangan ini cukup luas. Tak
biasanya teman-temanku mengerjaiku sekejam ini. Yah, memang mereka kadang
melampaui batas.
“Istirahatku
sudah selesai, kawan. Keluarlah dan lepaskan aku. Aku susah bernapas,” kataku
sambil menggerak-gerakkan tubuhku dengan percuma. Selang hitungan detik setelah
itu, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat kearahku. Semakin lama, suara
itu semakin jelas, lalu berhenti. Kurasa seseorang sedang mengawasiku.
“Hei,
siapa saja yang datang tolong aku. Keluarlah! Aku tak bisa --- Arrrgggghhhh,” Tiba-tiba ada seseorang
berlari dan menyundul perutku dari depan.
Ku menutup mata menahan rasa sakit diperutku.
Belum sampat ku melihat pelakunya, dia menamparku bertubi-tubi. Disela-sela tamparannya
ia mengayunkan kepalan tangannya tepat kewajahku. Akibatnya, kepalaku
menghantam keras tiang yang sedari tadi masih setia di belakangku. Kumerasakan
darah segar mengalir lewat kedua lubang hidungku. Tak hanya kaki, sekarang
kepalaku pun ikut meledak sebentar lagi. Ku berusaha membuka mataku untuk
kesekian kalinya. Seorang gadis sedang berdiri tepat didepanku. Gadis itu
mengenakan jaket berwarna merah dan celana training
berwarna hitam. Dia menyeringai kearahku.
“Kau...
bukan temanku,” kataku sambil berharap dapat menunjuk wanita itu dengan jari
tengah yang kupunya.
“Joey,
Apa kau ingat sesuatu, Joey?” kali ini namaku disebutnya lebih dari sekali.
Gadis itu berputar-putar mengelilingiku dan tiang bodoh yang masih menemaniku.
Melihatnya berputar-putar membuatku aku teringat
kejadian yang menimpaku sebelumnya. Lewat tengah malam, aku memperoleh pesan
singkat dari nomor Rossy. Dia meminta tolong padaku untuk menjemputnya di Jalan
Wrightstone karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Tanpa berpikir panjang,
aku menyalakan mesin mobil dan pergi untuk menjemputnya. Namun, tak ada
seorangpun di Wrightstone. Saat ku keluar dari mobil, ada sesuatu yang menancap
di bahuku. Hanya itu yang kuingat sebelum aku bertemu gadis sialan di tempat
ini.
“Mana
temanku, Nona?” seketika kuteringat Rossy.
“Teman?
Bukankah aku temanmu?” gadis itu tertawa terbahak-bahak. “Gampang juga
membuatmu menyalakan mesin mobil dan menemuiku,” kata gadis itu sambil
memainkan rambut hitamnya. Untuk kesekian kalinya aku ditipu oleh seorang
gadis. Entahlah, yang ini sedikit berbeda.
“Apa
Rossy pacarmu?” wajahnya mendadak serius.
“Apa
yang kau lakukan padanya?”
“Tenang
Bung. Kau ingin tau apa yang sedang dilakukan Rossy-mu itu? Mungkin dia sedang
memimpikan dirimu sekarang,” kalimatnya membuatku sedikit lega.
“Nomor
itu . . .” aku mulai teringat sesuatu. Handphone Rossy hilang beberapa hari
yang lalu.
“Aku
yang mencurinya. Kenapa? Kau ingin memukulku sekarang?” katanya.
“Aku
tak akan berani memukul seorang gadis. Walaupun gadis itu sesialan dirimu,”
kataku.
Seketika raut wajah gadis itu
berubah. Aku mendengar kalimat yang lirih keluar dari mulutnya “Joey, aku
cemburu,”
“Apa
maksudmu?”
“Apa
kau tak ingat padaku? Ingatanmu payah. Selain tampan, kau juga bodoh, Joey,”
tanyanya yang kemudian memujiku lalu menghinaku. Aku hanya menggeleng pelan.
Benar saya, pukulannya tadi membuat otak kiriku berantakan. Sebuah nama tempat
disebutkannya, “Tribute Hall,”
“Emma,”
sontak aku menyebut sebuah nama saat ku mendengar Tribute Hall. Namanya Emma,
gadis sialan ini bernama Emma. Dia hanya tersenyum.
Aku dan Rossy bertemu Emma seminggu
yang lalu di Tribute Hall, aula beladiri yang ada di kota Redburn. Rossy
memperkenalkanku pasa Emma. Kesan pertama aku tak merasakan keanehan. Dan sekarang,
apa yang dia lakukan? Cemburu? Padaku?
“Apa
kau ingin bernostalgia denganku malam ini, Joey?”
“Aku
sedang tak ingin. Bicara saja. Apa urusanmu?”
“Apa
kau menjalin kasih dengan Rossy?” untuk kedua kalinya dia menanyakan hal yang
sama dengan susunan kalimat yang sedikit berbeda.
“Ya.
Dia kekasihku. Ada masalah?”
“Kau
membuat diriku membenci dirinya. Terlebih dengan dirimu,” suaranya sedikit
bergetar.
“Aku
tak mengerti,” kataku sambi mengernyitkan dahi.
“Tempo
hari, aku mengajak Rossy makan malam. Aku menungguinya di restoran hampir
semalaman. Disaat yang bersamaan, aku melihatmu menggandeng tangan seorang
gadis. Gadis itu adalah Rossy. Sejak dia mengenalmu, dia menjauhiku,” gadis itu
menangis. Ruangan itu seketika hening.
“Aku
masih tak mengerti,” kataku. Emma mendekatiku. Sangat dekat. Suara nafasnya
terdengar jelas di telingaku. Lalu dia membisikkan sesuatu padaku, “Kau
merebutnya dariku, Joey. Aku mencintainya” kalimat terakhirnya membuat mataku
terbelalak. Seluruh tubuhku bergetar.
“Emma,
kau. . .,“
“Rossy
milikku!,” Tiba-tiba Emma menancapkan sebuah jarum suntik di bahuku.
Permulaan yg baguus bik!
BalasHapusKapan koe on nde 😒
BalasHapus