Kamis, 16 Maret 2017

Sejarah, Terimakasih


Hanya melampiaskan uneg-uneg yang tertimbun sejak lama perihal jurusan saya . Tak jarang banyak nyinyir-an di luar sana yang cenderung memojokkan jurusan tersebut. Berikut ini adalah beberapa respon mereka saat saya menjawab “Jurusan FKIP Sejarah” diantaranya :
“Hahahahahahahahahahahahahahahahahaha.”
“Kok nggak masuk matematika atau bahasa Inggris.”
“Kuliahnya ngapain tuh.”
“Pendidikan Sejarah? Nilainya rendah ya?” (Saya tidak memungkirinya)
“Oh.”
Saya memakluminya. Saya juga berpendapat demikian sebelum saya mengenal benar makna sejarah. Mungkin mereka hanya belum tau bahwa lulusan “berbau” sejarah juga bisa sukses juga. (*Ehem)
Pernah sesekali saya ngetes respon beberapa orang. Saat ditanya “jurusan apa, mbak?”, terus saya jawab “Pendidikan Bahasa Inggris” atau “Pendidikan Matematika” dan tentunya bukan “Pendidikan Dokter” (tau dirilah). Dan benar saja responnya bikin saya agak jijik, “wah pinter dong, sekolahnya dulu pasti pinter tuh, masuknya susah pasti, nilainya tinggi ya?” Oh shit. Mungkin jika mereka bertanya dengan mahasiswa jurusan Teknik, Ilmu Komputer, Teknologi, Kedokteran, Keperawatan, atau Ekonomi pasti responya sangat mengagumkan. Pertanyaan “mengapa memilih pendidikan sejarah?” tidak jauh berbeda dengan “Guru sejarah gak penting banget sumpah.” Ya, saya bisa mengerti, itu hak mereka.
Apa yang ada di kepala mereka setelah mendengar kata “sejarah”? Manusia purbakah? Hanya itu? Bukan hanya itu, gaes.
Namun, tidak semua orang memiliki stigma seperti ini. Ada segelintir orang (sejauh ini) yang menganggap sejarah itu merupakan sebuah ilmu yang sangat berarti. Beliau adalah seorang guru SMA yang bertanya jurusan yang saya ambil dan responnya membuat saya heran (menurut saya). Beliau menganggap sejarah adalah ilmu yang seharusnya dipelajari oleh semua orang karena disitu membuat kita lebih bijak dalam menghadapi berbagai masalah dikehidupan yang akan datang dan sekarang guru sejarah itu sangat dibutuhkan di sekolah-sekolah karena jam mata pelajaran sejarah ditambah. Saya melihat wajah antusisasnya yang on fire banget kalo cerita sejarah. Apa beliau guru sejarah? Bukan. Beliau adalah guru matematika. Guru matematika aja ngomong begitu.
Teman-teman, belajar sejarah itu sangat penting. Tidak perlu menjadi anak sejarah untuk belajar sejarah. Kita dapat mengetahui kesalahan-kesalahan manusia di masa lalu atau mengetahui kunci keberhasilan pendahulu kita. Mengetahui kelemahan dan kekurangan di masa silam berguna agar kita tidak lagi mengulanginya di masa sekarang. Sejarah juga mengasah kemampuan analisa kita. Analisa. Karena analisa juga penting untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Saya merasa beruntung dapat diterima di jurusan ini. Saya mulai melihat dampak-dampak positif dari saya belajar sejarah. Salah satunya, yang awalnya males baca buku dituntut untuk sering-sering baca buku. Karena kita dapat mengetahui sejarah dengan membaca. Dan masih banyak dampak positif yang lain. Ya gimana lagi kalau nggak baca buku (walaupun dikit-dikit), di kelas blank alias ga tau apa-apa. Beneran.
 Selanjutnya, apakah kalian masih berpikir bahwa sejarah adalah ilmu yang tidak penting?
  
“Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta.”
― Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah


Sabtu, 11 Maret 2017

The Power of Invisible Hand


Baca judulnya aja udah gimana gitu ya.
Tulisan ini sebenarnya untuk berbagi saja. Ada beberapa diantara teman sekelas saya yang bertanya bagaimana bisa dapat 2 beasiswa dalam 1 bulan. Saya hanya menjawab “Nggak tau”. Jujur, tidak ada sedikit pun hasrat untuk menyombongkan diri (karena saya tidak ada sesuatu yang bisa saya disombongkan), disini saya hanya ingin berbagi bagaimana “invisible hand” bekerja.
Pas awal kuliah dulu emang udah punya target harus dapet beasiswa. Saya pernah mendaftar 3 beasiswa dan....nggak lolos semua antara lain Lazis UNS, Bidikmisi Susulan dan yang terakhir PPA tahun 2016 semester ganjil. Nah, sebenarnya dari awal udah feeling nih kalau di beasiswa PPA ga bakal lolos. Ada beberapa alasan kenapa saya udah pesimis duluan sebelum ngajuin berkas. Salah satunya ternyata beasiswa PPA itu cuma diambil 1 orang satu angkatan. Waktu itu ada beberapa temen-temen yang pingin ikut, tapi berhubung diambilnya hanya 1 orang, pada gugur tuh niat untuk mendaftar. Dan dengan PD-nya saya tetep ikut dengan modal IPK yang segitu (*ga usah disebutin). Ga tau diri kan?
Yaudahlah PPA nggak lolos. Waktu itu respon ibu begini “Biasanya kalau udah nyoba 3 kali dan gagal, yang ke 4 kalinya pasti bisa”. Saya yakin doa ibu benar adanya. Motivasi yang cukup...super. Kecewa sih ya pasti kecewalah ya. Tapi tanpa disadari tertolaknya saya di PPA ada hikmah yang dapat diambil. Kebetulan saat itu lagi suka-sukanya denger ceramah Ust. Khalid Basalamah, di sela-sela ceramahnya beliau berkata yang intinya kalau menginginkan sesuatu jangan pernah berhenti berdoa, diiringi dengan usaha dan berusaha sebisa mungkin menghindari segala sesuatu yang menimbulkan dosa, Allah pasti mengabulkan. Disitulah saya mendapat petunjuk dan mulai introspeksi diri. Mungkin saya nggak dapet beasiswa gara-gara males berdoa, males belajar, males update beasiswa, nggak aktif UKM, atau sering berbuat dosa. Okelah.
Pertengahan Januari 2017, mas ketua kelas ngasih informasi kalau Kaprodi nyari 1 mahasiswa buat beasiswa salah satu bank swasta dengan syarat IPK cumlaude dan tidak sedang menerima beasiswa lain. Ya udah tuh saya nyoba ngajuin diri dan daftar lagi (Ga tau diri lagi kan?). Keesokan harinya ketemu sama Bapak Kaprodi untuk diwawancara dan alhamdulillah beliau menyetujui dan memaklumi IPK saya yang “mepet”. Dihari itu juga saya nyari semua berkas-berkas dan dikumpulin keesokan harinya. Kebetulan saat itu pas lagi libur kuliah. Akhirnya saya telah mendaftar beasiswa untuk ke 4 kalinya. Lalu 2 hari kemudian pengumuman dan alhamdulillah lolos (Bener kata emak). Doa orang jomblo mantap jiwa, gaes.
Ternyata belum selesai sampai disini.
Pertengahan bulan Februari 2017, jam 2 siang saya ditelepon oleh pihak Biro Kemahasiswaan (Mawa Pusat) untuk datang ke kantor jam 3. Pas sampai disana saya langsung menemui Bapak Joko (ketua Mawa Pusat). Dan diawal percakapan beliau berkata “Besok kamu ikut penyerahan Beasiswa Komandiksi jam 10 ya” (*kaget sesaat). Terus saya memastikan “berkas yang dikumpulin apa saja pak?”. Yang membuat saya kaget adalah jawaban beliau “berkasmu kan sudah ada. Kamu tinggal ikut penyerahan”. DEG! Gilak. Berkas dari mana coba. Informasi beasiswa komandiksi aja nggak tau apa lagi ke MAWA ngumpulin berkas. Lah terus itu berkas dari mana. Terus beliau merespon wajah saya yang kebingungan “loh, kok wajahnya malah gitu”. Udah jomblo, malu-maluin pula. Sumpah, kalau ada tempat longgar saya pingin sujud syukur disitu.

Mulai saat itulah saya percaya bahwa ada invisible hand-NYA yang bekerja. Jangan lelah berdoa dan berusaha J

Keresahan Mahasiswa Pertengahan


Banyak hal yang saya rasakan dari awal menjadi mahasiswa baru sampai menjadi mahasiswa pertengahan. Sampai saat ini, semester 4 menjadi titik jenuh saya yang hanya menjadi seorang mahasiswa. Hanya menjadi seorang mahasiswa. Entah kenapa, semester ini membuat saya merasa sangat menua dan tak punya karya apa-apa. Mungkin quotes saya yang salah satunya berbunyi “harus bisa membuat karya sebelum umur 20 tahun” telah dibumi hanguskan oleh hal-hal lain yang berhasil membuat saya “melupa”. Dari situ dapat kalian analisis umur saya yang tuwir. Banyak tulisan yang baru judul terbengkalai begitu saja. Niat ingin mengirim tulisan yang tersisihkan oleh belenggu deadline tugas-tugas kuliah. Hari libur yang diisi dengan jualan online untuk mengais rupiah. Oke, itu tadi beberapa statement yang memicu orang berkata “kalau kamu niat ya pasti disempet-sempetinlah”.
Selain itu mungkin karena saya berstatus mahasiswa pasif. Kerjaan cuma kuliah ya kuliah, kalau pulang ya langsung pulang. Beda sama teman-teman yang lain kalau pulang ya rapat bikin program kerja, ngurus ini itu atau apalah-apalah. Sungguh mereka luar biasa. Mungkin itu yang bikin saya resah karena saya merasa kurang sosialisasi di kampus sendiri.
Cita-cita adalah salah satu hal lain yang membuat saya resah dalam berbagai bidang kehidupan. Di semester ini saya sering banget mikirin mau jadi apa di masa depan. Hari ini pingin menjadi penulis, besoknya wirausaha, besoknya guru, besoknya penulis, besoknya wirausaha, besoknya guru, begitu terus cuma muter-muter. Percayalah bahwa orang seburuk ini (*nunjuk muka sendiri) juga punya cita-cita. Bahkan ada suatu titik dimana saya nggak pingin jadi apa-apa atau mungkin menjadi seorang istri yang baik dan penyayang. Tapi terkadang kalo pikiran lagi jernih pingin merangkap ketiga-tiganya (dasar nggak tau diri).














Jumat, 10 Maret 2017

Gadis Tribute Hall

Oleh : Febriana Kurnia Fitri


Semakin ku membuka mata, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Kakiku seperti akan meledak. Kumerasa berjam-jam lamanya aku tidak sadarkan diri dalam posisi berdiri dengan tali tambang yang melilitku dan tiang besi yang tegak berdiri menyangga tubuhku. Tali itu membuat kemeja kotak-kotak dan jeans panjang yang ku kenakan hampir tak terlihat. Aku seperti mumi yang menyedihkan. Dadaku mulai sesak. Anggota tubuhku sama sekali tak bisa digerakkan. Hanya kepala yang dapat kugerakkan dengan sempurna keatas, kebawah, kesamping kanan atau ke samping kiri. Beruntung, seluruh alat indraku masih bisa berfungsi dengan cukup baik. Tak jarang ku mendengar suara samar-samar jangkrik dan burung hantu dari luar.
“Baiklah, sekarang bau badanku seperti bau badanmu, tiang bodoh!”, gumamku. Aku seperti membodoh-bodohkan diriku sendiri.
Aku sedikit melirik lampu corong redup yang digantungkan tepat sejengkal diatasku. Sangat dekat. Aku sama sekali tidak merasakan panasnya lampu yang memancar. Entahlah, mungkin saja panasnya lampu dan dinginnya malam itu membuat suhu disekitarku menjadi netral. Ruangan itu sangat gelap. Sinar lampu itu hanya mampu menyinari tubuh dan tiang di belakangku. Hal itu membuat siapapun atau apapun dapat melihatku dari kejauhan. Aku hanya dapat melihat dengan jarak pandang sekitar 5 meter saja. Selebihnya, gelap.
 “Hei apa-apaan ini! Sam, Nick? Ayolah, aku tak sedang ulang tahun,” suaraku menggema keseluruh penjuru ruangan. Kurasa ruangan ini semacam aula atau sejenisnya. Yang pasti ruangan ini cukup luas. Tak biasanya teman-temanku mengerjaiku sekejam ini. Yah, memang mereka kadang melampaui batas.
“Istirahatku sudah selesai, kawan. Keluarlah dan lepaskan aku. Aku susah bernapas,” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuhku dengan percuma. Selang hitungan detik setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat kearahku. Semakin lama, suara itu semakin jelas, lalu berhenti. Kurasa seseorang sedang mengawasiku.
“Hei, siapa saja yang datang tolong aku. Keluarlah! Aku tak bisa --- Arrrgggghhhh,” Tiba-tiba ada seseorang berlari dan menyundul perutku dari depan.
Ku menutup mata menahan rasa sakit diperutku. Belum sampat ku melihat pelakunya, dia menamparku bertubi-tubi. Disela-sela tamparannya ia mengayunkan kepalan tangannya tepat kewajahku. Akibatnya, kepalaku menghantam keras tiang yang sedari tadi masih setia di belakangku. Kumerasakan darah segar mengalir lewat kedua lubang hidungku. Tak hanya kaki, sekarang kepalaku pun ikut meledak sebentar lagi. Ku berusaha membuka mataku untuk kesekian kalinya. Seorang gadis sedang berdiri tepat didepanku. Gadis itu mengenakan jaket berwarna merah dan celana training berwarna hitam. Dia menyeringai kearahku.
“Kau... bukan temanku,” kataku sambil berharap dapat menunjuk wanita itu dengan jari tengah yang kupunya.
“Joey, Apa kau ingat sesuatu, Joey?” kali ini namaku disebutnya lebih dari sekali. Gadis itu berputar-putar mengelilingiku dan tiang bodoh yang masih menemaniku.
Melihatnya berputar-putar membuatku aku teringat kejadian yang menimpaku sebelumnya. Lewat tengah malam, aku memperoleh pesan singkat dari nomor Rossy. Dia meminta tolong padaku untuk menjemputnya di Jalan Wrightstone karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, aku menyalakan mesin mobil dan pergi untuk menjemputnya. Namun, tak ada seorangpun di Wrightstone. Saat ku keluar dari mobil, ada sesuatu yang menancap di bahuku. Hanya itu yang kuingat sebelum aku bertemu gadis sialan di tempat ini.
“Mana temanku, Nona?” seketika kuteringat Rossy.
“Teman? Bukankah aku temanmu?” gadis itu tertawa terbahak-bahak. “Gampang juga membuatmu menyalakan mesin mobil dan menemuiku,” kata gadis itu sambil memainkan rambut hitamnya. Untuk kesekian kalinya aku ditipu oleh seorang gadis. Entahlah, yang ini sedikit berbeda.
“Apa Rossy pacarmu?” wajahnya mendadak serius.
“Apa yang kau lakukan padanya?”
“Tenang Bung. Kau ingin tau apa yang sedang dilakukan Rossy-mu itu? Mungkin dia sedang memimpikan dirimu sekarang,” kalimatnya membuatku sedikit lega.
“Nomor itu . . .” aku mulai teringat sesuatu. Handphone Rossy hilang beberapa hari yang lalu.
“Aku yang mencurinya. Kenapa? Kau ingin memukulku sekarang?” katanya.
“Aku tak akan berani memukul seorang gadis. Walaupun gadis itu sesialan dirimu,” kataku.
            Seketika raut wajah gadis itu berubah. Aku mendengar kalimat yang lirih keluar dari mulutnya “Joey, aku cemburu,”
“Apa maksudmu?”
“Apa kau tak ingat padaku? Ingatanmu payah. Selain tampan, kau juga bodoh, Joey,” tanyanya yang kemudian memujiku lalu menghinaku. Aku hanya menggeleng pelan. Benar saya, pukulannya tadi membuat otak kiriku berantakan. Sebuah nama tempat disebutkannya, “Tribute Hall,”
“Emma,” sontak aku menyebut sebuah nama saat ku mendengar Tribute Hall. Namanya Emma, gadis sialan ini bernama Emma. Dia hanya tersenyum.
            Aku dan Rossy bertemu Emma seminggu yang lalu di Tribute Hall, aula beladiri yang ada di kota Redburn. Rossy memperkenalkanku pasa Emma. Kesan pertama aku tak merasakan keanehan. Dan sekarang, apa yang dia lakukan? Cemburu? Padaku?
“Apa kau ingin bernostalgia denganku malam ini, Joey?”
“Aku sedang tak ingin. Bicara saja. Apa urusanmu?”
“Apa kau menjalin kasih dengan Rossy?” untuk kedua kalinya dia menanyakan hal yang sama dengan susunan kalimat yang sedikit berbeda.
“Ya. Dia kekasihku. Ada masalah?”
“Kau membuat diriku membenci dirinya. Terlebih dengan dirimu,” suaranya sedikit bergetar.
“Aku tak mengerti,” kataku sambi mengernyitkan dahi.
“Tempo hari, aku mengajak Rossy makan malam. Aku menungguinya di restoran hampir semalaman. Disaat yang bersamaan, aku melihatmu menggandeng tangan seorang gadis. Gadis itu adalah Rossy. Sejak dia mengenalmu, dia menjauhiku,” gadis itu menangis. Ruangan itu seketika hening.
“Aku masih tak mengerti,” kataku. Emma mendekatiku. Sangat dekat. Suara nafasnya terdengar jelas di telingaku. Lalu dia membisikkan sesuatu padaku, “Kau merebutnya dariku, Joey. Aku mencintainya” kalimat terakhirnya membuat mataku terbelalak. Seluruh tubuhku bergetar.
“Emma, kau. . .,“
“Rossy milikku!,” Tiba-tiba Emma menancapkan sebuah jarum suntik di bahuku.